BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sebelum membahas mengenai struktur sosial masyarakat desa, perlu dibahas terlebih dahulu definisinya. Merton (1964) menyatakan bahwa ciri dasar dari suatu struktur sosial adalah status yang tidak hanya melibatkan satu peran, melainkan sejumlah peran yang saling terkait. Merton memperkenalkan konsep perangkat peran (role set). Social inequality merupakan konsep dasar yang menyusun pembagian suatu struktur sosial menjadi beberapa bagian atau lapisan yang saling berkait. Konsep ini memberikan gambaran bahwa dalam suatu struktur sosial ada ketidaksamaan posisi sosial antar individu di dalamnya. Terdapat tiga dimensi dimana suatu masyarakat terbagi dalam suatu susunan atau stratifikasi, yaitu kelas, status dan kekuasaan. Konsep kelas, status dan kekuasaan merupakan pandangan yang disampaikan oleh Max Weber .
Kelas dalam pandangan Weber merupakan sekelompok orang yang menempati kedudukan yang sama dalam proses produksi, distribusi maupun perdagangan. Pandangan Weber melengkapi pandangan Marx yang menyatakan kelas hanya didasarkan pada penguasaan modal, namun juga meliputi kesempatan dalam meraih keuntungan dalam pasar komoditas dan tenaga kerja. Keduanya menyatakan kelas sebagai kedudukan seseorang dalam hierarkhi ekonomi. Sedangkan status oleh Weber lebih ditekankan pada gaya hidup atau pola konsumsi. Namun demikian status juga dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti ras, usia dan agama (Beteille, 1970).
Dalam struktur masyarakat desa terdapat aspek yang perlu diperhatikan yaitu aspek ekonomi, social dan politik. Dari aspek ekonomi dan sosial terdapat kelompok sosial yang memiliki perbedaan mendasar. Perbedaan tersebut terdapat pada akses terhadap faktor produksi utama dalam pertanian, yaitu tanah. Kelompok sosial yang terbentuk di desa adalah kelompok buruh tani dan kelompok petani bebas. Selain akses terhadap tanah terdapat pula prinsip peran yang membagi masyarakat desa menjadi dua kelompok sosial tersebut. Prinsip tersebut adalah salah satu kelompok memiliki peran sebagai “pengabdi” sedangkan kelompok lainnya sebagai “penguasa”.
Perbedaan akses serta prinsip peran kelompok sosial yang ada di desa membawa berbagai implikasi dalam kehidupan sosial. Kedua kelompok sosial yang hidup bersama dalam satu tatanan masyarakat saling berinteraksi satu sama lain. Perbedaan satus sosial antara dua kelompok sosial tersebut membawa dampak pada peran masing-masing kelompok dalam kehidupan sosial dan ekonomi.
Dari aspek politik yaitu menyangkut kelembagaan desa. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2005 tentang Desa, disebut bahwa Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Desa bukanlah bawahan kecamatan, karena kecamatan merupakan bagian dari perangkat daerah kabupaten/kota, dan desa bukan merupakan bagian dari perangkat daerah. Berbeda dengan kelurahan, Desa memiliki hak mengatur wilayahnya lebih luas. Namun dalam perkembangannya, sebuah desa dapat ditingkatkan statusnya menjadi kelurahan. Desa memiliki pemerintahan sendiri. Pemerintahan Desa terdiri atas Pemerintah Desa (yang meliputi Kepala Desa dan Perangkat Desa) dan Badan Permusyawarahan desa (BPD) dan masih ada lembaga-lembaga dibawahnya.
1.2 Rumusan Masalah
Dari hasil Praktek Lapang Terpadu di Desa Pattapang, Kecamatan Tinggi Moncong (Malino), ditemukan masih banyak petani memiliki lahan pertanian yang sangat sempit, bahkan ada yang hanya merupakan petani penggarap. Untuk itu perlu diamati :
1) Bagaimana status petani berdasarkan kepemilikin lahan pertanian ?
2) Apa saja kegiatan ekonominya ?
3) Bagaimana status dan kedudukan sosial, serta peranannya dalam masyarakat ?
1.3 Tujuan dan Kegunaan
1.3.1 Tujuan
Untuk melakukan pengamatan tentang kehidupan masyarakat petani, kegiatan usaha tani, dan lingkungan yang mempengaruhinya.
1.3.2 Mamfaat
Mamfaatnya adalah sebagai pembanding dari materi yang didapatkan di bangku kuliah dengan realita yang sebenarnya terjadi dalam masyarakat.
BAB II TINJAUN PUSTAKA
2.1 Buruh Tani
Struktur sosial masyarakat desa pada masa lalu terbagi berdasarkan luas kepemilikan lahan menjadi dua golongan besar yaitu buruh tani dan pemilik tanah. Buruh tani mempunyai kedudukan sosial yang paling bawah dengan aktivitas ekonomi yang terbatas pada pengerahan tenaga buruh upahan kepada kaum pemilik tanah. Beberapa diantaranya mencoba untuk melakukan kegiatan ekonomi lainnya namun masih terbatas pada jenis perdagangan kecil.
Berbeda dengan kaum tuan tanah yang mempunyai kegiatan ekonomi lebih bervariatif dan skala yang jauh lebih besar. Perbedaan akses serta prinsip peran kelompok sosial yang ada di desa membawa berbagai implikasi dalam kehidupan sosial. Kedua kelompok sosial yang hidup bersama dalam satu tatanan masyarakat saling berinteraksi satu sama lain. Perbedaan status sosial antara dua kelompok sosial tersebut membawa dampak pada peran masing-masing kelompok dalam kehidupan sosial dan ekonomi.
Buruh tani memperoleh penghasilan dari upah bekerja pada tanah pertanian milik orang lain atau petani penyewa tanah. Sebagian besar buruh tani bekerja lepas dengan upah harian, hanya sebagian kecil yang bekerja untuk jangka satu tahun atau lebih. Selain dari upah sebagai pekerja, buruh tani juga melakukan kegiatan dagang kecil-kecilan. Ada juga diantaranya yang menanami lahan hutan dengan perjanjian tertentu.
Keberadaan buruh tani dapat diidentifikasi dari jumlah penduduk yang tidak memiliki tanah pertanian. Keterbatasan informasi menyebabkan kepemilikan tanah dijadikan sebagai dasar penentuan status sebagai buruh tani. Namun perlu ditekankan bahwa ciri terpenting dari buruh tani bukan pada kepemilikan tanah tetapi pada sikapnya yang menyerahkan diri kepada orang lain, dalam hal ini pemilik tanah. Kompensasi yang diberikan bagi buruh tani yang tinggal diatas tanah milik orang lain bukan berupa uang, namun berupa peran dirinya sebagai “abdi”.
Buruh tani dibedakan menjadi dua subkelompok. Subkelompok pertama adalah mereka yang sama sekali tidak memiliki tanah pertanian atau hanya memiliki tanah pekarangan saja, untuk selanjutnya disebut buruh tani. Sedangkan subkelompok kedua adalah mereka yang memiliki tanah pertanian dengan luasan yang sempit yakni kurang dari 2,5 Ha. Subkelompok ini disebut dengan petani tidak tetap (part time farmers).
2.2 Petani Bebas
Selain buruh tani juga dikenal jenis petani yang lain, yaitu petani bebas. Petani bebas dibedakan menjadi sua subkelompok yaitu petani bebas kecil dan tuan tanah besar. Dasar pembagian kelompok petani bebas ini adalah luas kepemilikan tanah. Mereka yang memiliki tanah antara 2,5 hingga 12 acre digolongkan dalam petani bebas kecil. Sedangkan mereka yang memiliki tanah lebih dari 12 acre termasuk dalam tuan tanah besar.
Secara ekonomi kelompok petani bebas kecil tidak melakukan pekerjaan untuk mencari upah, sebaliknya mereka mempekerjakan buruh tani. Biasanya petani bebas kecil juga turut bekerja bersama-sama dengan buruh tani sekaligus mengawasi pekerjaan mereka. Selain mengerjakan tanah pertanian miliki mereka sendiri, terkadang mereka juga mengerjakan tanah pertanian milik tuan tanah besar dengan cara bagi hasil. Jenis tanah yang mereka kerjakan adalah tanah sawah, berbeda dengan buruh tani yang mengerjakan tanah tegalan.
Kedudukan sosial antara tuan tanah besar dan petani bebas kecil hanya terdapat sedikit perbedaan. Petani bebas kecil merupakan cerminan sejumlah kecil masyarakat desa yang berhasil membebaskan diri dan meraih kekuasaan ekonomi yang lebih besar. Anggota kelompok petani bebas kecil yang terkadang memiliki hubungan saudara jauh dengan tuan tanah besar mampu memainkan peranan yang penting dalam kehidupan masyarakat. Mereka menempati posisi yang baik untuk mendapatkan pengakuan dan rasa hormat dari penduduk lain. Posisi yang strategis tersebut merupakan wujud perjuangan mereka dalam mempertahankan status sosial sehingga tidak turun ke lapisan buruh tani.
Jumlah tuan tanah besar di desa jumlahnya paling kecil. Tanah pertanian yang mereka kuasai sebagian besar adalah tanah subur yang produktif. Kelompok ini terdiri dari sejumlah kecil keluarga yang terikat dengan perkawinan. Lima keluarga tuan tanah besar lainnya adalah bangsawan. Penguasaan modal yang besar serta hubungan yang harmonis dengan tengkulak menyebabkan posisi secara ekonomi tuan tanah besar sangat baik. Beberapa tuan tanah besar memiliki tanah pertanian di luar desa.
Petani bebas sedikit banyak telah menggunakan teknik-teknik pertanian modern. Pandangan mereka telah terbentang luas melewati batas desa. Tuan tanah besar memiliki hubungan pribadi dengan pemerintah. Berbagai informasi tentang desa sedikit banyak terhimpun dari kalangan tuan tanah besar. Informasi yang terkadang sangat jauh dari kenyataan yang sebenarnya. Pemimpin desa biasanya dari kelompok petani bebas ini demikian pula orang-orang yang bekerja keras untuk gerakan koperasi desa.
Secara ekonomi, dalam menjalankan usaha pertanian, tuan tanah besar menjalankan fungsi sebagai pengelola. Mereka jarang sekali mengerjakan pekerjaan kasar sendiri. Komoditas yang diusahakan adalah komoditas yang menjanjikan keuntungan besar walupun dengan modal yang besar. Beberapa tuan tanah besar berhasil merubah tegalan menjadi kebun buah-buahan yang terawat dengan baik. Setelah panen, tuan tanah besar menyerahkan pengelolaan tanah pertaniannya kepada buruh tani dengan cara maro. Tanah sawah yang mereka miliki disewakan atas dasar bagi hasil. Hasil sewa tersebut mereka gunakan untuk memenuhi kebutuhan makan sedangkan keuntungan dari usahatani kentang dan kubis mereka gunakan untuk memenuhi kebutuhan kemewahan, seperti membangun rumah. Mereka juga menanamkan modal pada usaha dagang dan pengangkutan.
BAB III METODE PELAKSANAAN
3.1 Tempat dan Waktu
Praktek lapang dilaksanakan di tiga tempat yaitu :
1) Tempat pembenihan udang dan bandeng “Benur Kita” di Kupa Barru.
2) Pusat Pelatihan Pertanian Pedesaan Swadaya (P4S) di Kelurahan Pattapang Kecamatan Tinggimoncong (Malino) Kab. Gowa.
3) Ternak sapi perah di Sinjai Barat Kab. Sinjai.
Waktu pelaksanaa hari Jumat tanggal 4 Desember 2009 sampai dengan Minggu tanggal 6 Desember 2009.
3.1 Metode Pelaksanaan Praktek Lapang Terpadu
Dalam melakukan praktek lapang terpadu metode yang digunakan adalah:
· Survei
Panitia melakukan survei pada tempat-tempat yang akan digunakan untuk praktek.
· wawancara dan Diskusi
Melakukan wawancara dan diskusi dengan pembimbing lapang, kelompok P4S, petani dan masyarakat untuk mengetahui kegiatan-kegiatan yang ada di lapangan dan masalah-masalah yang timbul serta penyelelesaiannya.
· Pengamatan
Langsung mengamati objek yang akan teliti sesuai dengan questioner yang disiapkan oleh masing-masing dosen pembimbing mata kuliah praktek.
BAB IV KEADAAN UMUM LOKASI PRAKTEK
4.1 Letak Geografis
Kelurahan Pattapang, kecamatan Tinggimoncong(Malino), berada pada wilayah administrasi Pemerintahan Kabupaten Gowa dengan batas wilayah sebagai berikut :
Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Kanreapia
Sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan Malino
Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Tonasa
Sebelah Selatan berbatasan dengan Kelurahan Buluttana/Gunung Bawakaraeng
4.2 Penggunaan Lahan
Kelurahan Pattapang berada pada topografi berbukit dengan kemiringan rata-rata 25-35˚, karakteristik tanahnya Lempung Berpasir (Sandy Loam) serta terletak pada ketinggian ±1500 meter diatas permukaan laut.
Hampir seluruh wilayah Kelurahan Pattapang merupakan lahan kering, yang digunakan untuk kebun hortikultura. Adapun luas lahan yang digunakan untuk kebun hortikultura dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Table 1: luas lahan Kelurahan Pattapang yang digunakan untuk kebun hortikultura
No. | Nama Kelompok Tani | Luas Lahan (Ha) | Komoditi Unggulan |
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 | Veteran Tunas Muda PIEN Bola Siri’napacce Kampung Baru Kalibong Alam Segar Buluballea Ta’ca’la Kayu Putiah Bina Mandiri Wanita Tani Beringin Wanita Tani Strawberi Wanita Tani Kenanga Wanita Tani Mawar Wanita Tani Mwr Merah Wanita Tani Safana Wanita Tani Anugrah Pattiro-tiroang Turikale Usagung Bawakaraeng Mutiara Tani Makmur Tani Wira Jaya Lembanna Dale Ta’bua Maddakko Pemuda Veteran Lemo-Lemo Pattapang | 30 13 25 30 53 31 26 60 31 26 30 20 15 10 12 6 16 20 23 43 23 25 25 30 30 20 30 15 34 32 | Kentang, wortel, tomat, strawberi, bwng daun Kentang, kubis, tomat Tomat, markisa Kentang, kubis, tomat Kentang, kubis, tomat Kentang, kubis, tomat Kentang, kubis, tomat Kentang, kubis, tomat Kentang, kubis, tomat Kentang, kubis, tomat Kentang, kubis, tomat Kentang, kubis, tomat, tnm hias Kentang, kubis, tomat, tnm hias Kentang, kubis, tomat, tnm hias Kentang, kubis, tomat, tnm hias Kentang, kubis, tomat, tnm hias Kentang, kubis, tomat, tnm hias Kentang, kubis, tanaman hias Kentang, kubis, tomat Kentang, kubis, tomat Kentang, kubis, tomat Kentang, kubis, tomat Kentang, kubis, tomat Kentang, kubis, tomat Kentang, kubis, tomat Kentang, wortel. markisa Tomat Kentang, wortel, tomat Kentang, tomat, markisa kopi Kentang, wortel, tomat |
Jumlah | 676 |
Sumber : Gapoktan Gema Baru Kelurahan Pattapang 2009
4.3 Iklim
Berdasarkan klasifikasi iklim menurut koppen yang didasarkan atas suhu dan rata-rata curah hujan bulanan dan tahunan, maka Kelurahan Pattapang termasuk dalam iklim tipe A (iklim hujan tropis) yang ditandai dengan rata-rata suhu bulanan lebih dari 15ºC sampai dengan 20ºC, dengan rata-rata hujan sebesar 2.800 sampai dengan 3.000 mml/tahun.
4.4 Keadaan Penduduk
Berdasarkan data yang diperoleh maka jumlah penduduk dan sarana umum yang ada di Kelurahan Pattapang dapat dilihat pada table berikut ini :
Table 2 : Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin
No. | Jenis Kelamin | Jumlah (jiwa) | Keterangan |
1 | Laki-laki | 1.306 | 880 KK |
2 | Perempuan | 1.411 | |
Jumlah | 2.717 | 880 KK |
Table 3 : Jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan
No. | Tingkat Pendidikan | Jumlah (jiwa) | Keterangan |
1 | SD | 2.173 | - |
2 | SLTP | 272 | - |
3 | SMU | 136 | - |
4 | S1 | 136 | - |
Jumlah | 2.717 |
Table 4 : Jumlah sarana umum
No. | Sarana | Jumlah | Keterangan |
1 | Kantor Kelurahan | 1 | |
2 | SD | 5 | |
3 | SLTP | 1 | |
4 | Puskesmas Pembantu | 1 | |
5 | Puskesmas Kecamatan | 1 | |
6 | Mesjid | 1 | |
Jumlah | 10 |
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
4.2 Status Kepemilikan Lahan
Sesuai dengan penjelasan pada BAB II TINJAUAN PUSTAKA bahwa, struktur sosial masyarakat desa pada masa lalu terbagi berdasarkan luas kepemilikan lahan menjadi dua golongan besar yaitu buruh tani dan petani bebas.
Buruh tani dibedakan menjadi dua subkelompok. Subkelompok pertama adalah mereka yang sama sekali tidak memiliki tanah pertanian atau hanya memiliki tanah pekarangan saja, untuk selanjutnya disebut buruh tani. Sedangkan subkelompok kedua adalah mereka yang memiliki tanah pertanian dengan luasan yang sempit yakni kurang dari 2,5 Ha. Subkelompok ini disebut dengan petani tidak tetap (part time farmers).
Selain buruh tani juga dikenal jenis petani yang lain, yaitu petani bebas. Petani bebas dibedakan menjadi sua subkelompok yaitu petani bebas kecil dan tuan tanah besar. Dasar pembagian kelompok petani bebas ini adalah luas kepemilikan tanah. Mereka yang memiliki tanah antara 2,5 hingga 12 hektar digolongkan dalam petani bebas kecil. Sedangkan mereka yang memiliki tanah lebih dari 12 hektar termasuk dalam tuan tanah besar.
Menurut M. Ali (responden) ; ada beberapa hal yang menyebabkan penyempitan kepemilikan lahan, antara lain :
a. Pertambahan jumlah penduduk
Pertambahan jumlah penduduk menyebabkan berkurangnya luas kepemilikian lahan pertanian, misalkan dalam satu keluarga ada lima orang maka secara otomatis lahan keluarga tersebut akan dibagi menjadi lima bagian. Selain itu pertambahan jumlah penduduk juga menyebabkan banyak lahan-lahan produktif dijadikan pemukiman (lahan pekerangan).
b. Keadaan topografi
Keadaan topografi yang berbukit-bukit, menyebabkan banyak lahan yang tidak produktif untuk dijadikan lahan pertanian. Misalnya lahan yang memiliki kemiringin di atas 40°, serta lahan-lahan yang susah dijangkau karena medan yang berat.
c. Pengaruh ekonomi.
Karena desakan ekonomi banyak juga petani yang terpaksa menjual sebagian lahan pertaniannya kepada orang lain.
Dari hasil wawancara anggota Kelompok III pada sejumlah petani (responden) saat melaksanakan Praktek Lapang Terpadu di Kelurahan Pattapang Kecamatan Tinggimoncong (Malino), maka data yang diperoleh adalah sebagai berikut :
1) Buruh tani : 25%
2) Petani tidak tetap : 50%
3) Petani bebas kecil : 25%
4) Tuan tanah besar : 0%
Berdasarkan hasil persentase data tersebut diatas, maka kami dari kelompok III sepakat untuk memfokuskan pembahasan pada petani tidak tetap, yaitu petani yang memiliki tanah pertanian dengan luasan kurang dari 2,5 hektar.
4.3 Petani Tidak Tetap
Petani tidak tetap merupakan suatu status yang diberikan kepada para petani yang mempunyai lahan sendiri dengan luasan yang sempit, yaitu kurang dari 2,5 Hektar. Status inilah yang paling banyak dijumpai saat melakukan praktek lapang terpadu di Kelurahan Pattapang Kecamatan Tinggimoncong (Malino). Rata-rata kepemilikian lahan pertanian di Kelurahan ini antara 0,5 Ha sampai dengan 2,5 Ha, dan mereka sendiri yang menggarap lahannya tersebut.
Pada umumnya petani mengusahakan perkebunan hortikultura dengan komoditi unggulan: kentang, kubis, tomat dan wortel. Disamping komoditi unggulan juga diusahakan beberapa komoditi lain seperti : bawang daun, strawberry, kopi dan markisa
Dalam melakukan kegiatan ekonominya, petani tidak tetap ini menggarap sendiri lahan pertaniannya, dibantu oleh anggota keluarganya yaitu istri dan anaknya. Untuk menambah penghasilanya terkadang mereka juga menggarap sebagaian lahan milik tuan tanah. Penghasil rata-rata perbulan dari hasil usaha tani antara Rp. 500.000, - sampai dengan Rp. 1.500.000.-, besarnya penghasilan perbulan sangat dipengaruhi oleh luas lahan yang diolah, harga saat penjualan serta produktivitas permusim.
Permasalah yang sering ditemui petani kecil yang ada di Kelurahan Pattapang dalam pengelolaan usaha tani adalah :
a. Kekurangan modal
Petani di kelurahan ini masih kesulitan mendapatkan modal yang akan digunakan untuk membiayai usaha taninya, terutama untuk menyuplai sarana produksi seperti benih unggul, pupuk, obat-obatan (pestisida), serta alat-alat pertanian (mekanisasi).
Sarana produksi yang bermutu sangat berpengaruh pada peningkatan produksi, namun karena keterbatasan dana mereka hanya menggunakan sarana ala kadarnya sehingga produksinya pun tidak maksimal.
Hasil dari penjualan tidak dapat digunakan sepenuhnya untuk kegiatan pertanian, karena sebagian digunakan untuk membiayai kebutuhan keluarga termasuk pendidikan anak-anaknya. Untuk itulah ia sangat membutuhkan pinjaman dana yang pengembaliannya bisa diansur.
b. Penerapan teknologi
Dari hasil pendataan menunjukkan tingkat pendidikan petani tidak tetap masih sangat rendah, karena itulah mereka kurang mampu mengadopsi teknologi di bidang pertanian yang berkembang pesat. Penerapan teknologi yang masih lemah seperti teknik budidaya, pemilihan varietas, pengendalian hama dan penyakit
c. Pemasaran
System pemasaran di tempat ini adalah: petani → pedangang pengumpul → pedagang antar kota → pasar → konsumen. Panjangnya rantai pemasaran ini membuat petani tidak bisa mendapatkan harga yang bagus. Kendala lain adalah ketika panen melimpah maka harga barang tersebut juga turun.
5.3 Kegiatan Ekonomi
Petani tidak tetap di Kelurahan Pattapang, melakukan kegiatan usaha tani di atas lahan pertaniannya sendiri dengan luasan antara 0,5 hektar sampai dengan 2,5 hektar. Sedangkan mereka yang ingin memperoleh penghasilan tambahan, juga menggarap sebagaian lahan milik tuan tanah dengan system bagi hasil. Kegiatan pertanian yang diusahakan adalah perkebunan hortikultura dengan komoditi unggulan : kentang, wortel, tomat dan kubis. Disamping itu juga diusahakan komoditi : daun bawang, strawberry dan markisa.
Hasil pertanian yang diperoleh umumnya dijual ke pedagang pengumpul, karena mereka tidak punya waktu yang banyak untuk melakukan penjualan langsung ke konsumen. Sebagaian besar waktu dari petani ini dihabiskan di lahan pertaniannya. Semua anggota keluarga turut membantu mengolah lahan pertanian, termasuk ibu-ibu rumah tangga juga bergabung setelah menyiapkan makanan.
5.4 Stratifikasi Sosial
Stratifikasi sosial merupakan pembedaan anggota masyarakat berdasarkan status (Susanto, 1993). Definisi yang lebih spesifik mengenai stratifikasi sosial antara lain dikemukakan oleh Sorokin (1959) dalam Soekanto (1990) bahwa pelapisan sosial merupakan pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (hierarkis). Perwujudannya adalah adanya kelas tinggi dan kelas rendah. Sedangkan dasar dan inti lapisan masyarakat itu adalah tidak adanya keseimbangan atau ketidaksamaan dalam pembagian hak, kewajiban, tanggung jawab, nilai-nilai sosial, dan pengaruhnya di antara anggota-anggota masyarakat.
Diferensiasi dan ketidaksamaan sosial mempunyai potensi untuk menimbulkan stratifikasi sosial dalam masyarakat. Diferensiasi sosial merupakan pengelompokan masyarakat secara horizontal berdasarkan pada ciri-ciri tertentu. Berbeda dengan ketidaksamaan sosial yang lebih menekankan pada kemampuan untuk mengakses sumberdaya, diferensiasi lebih menekankan pada kedudukan dan peranan.
Stratifikasi sosial dapat terjadi sejalan dengan proses pertumbuhan atau dibentuk secara sengaja dibuat untuk mencapai tujuan bersama. Seperti apa yang dikemukakan Karl Marx yaitu karena adanya pembagian kerja dalam masyarakat, konflik sosial, dan hak kepemilikan.
Stratifikasi sosial dapat terjadi sejalan dengan proses pertumbuhan atau dibentuk secara sengaja dibuat untuk mencapai tujuan bersama. Seperti apa yang dikemukakan Karl Marx yaitu karena adanya pembagian kerja dalam masyarakat, konflik sosial, dan hak kepemilikan.
5.4.1 Unsur-Unsur Lapisan Masyarakat
Hal yang mewujudkan unsur dalam teori sosiologi tentang sistem lapisan masyarakat menurut Soekanto (1990) adalah kedudukan (status) dan peranan (role). Kedudukan (status) diartikan sebagai tempat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial. Kedudukan sosial artinya tempat seseorang secara umum dalam masyarakatnya sehubungan dengan orang lain, dalam arti lingkungan pergaulannya, prestise-nya, dan hak-hak serta kewajibannya.
Masyarakat pada umumnya mengembangkan dua macam kedudukan, yaitu :
1) Ascribed-status, yaitu kedudukan seseorang dalam masyarakat tanpa memperhatikan perbedaan-perbedaan rohaniah dan kemampuan. Pada umumnya ascribed status dijumpai pada masyarakat dengan sistem lapisan yang tertutup, misalnya masyarakat feodal (bangsawan, kasta)
2) Achieved-status, yaitu kedudukan yang dicapai oleh seseorang dengan usaha-usaha yang disengaja. Kedudukan ini bersifat terbuka bagi siapa saja, tergantung dari kemampuan masing-masing dalam mengejar serta mencapai tujuan-tujuannya. Misalnya, setiap orang dapat menjadi hakim asalkan memenuhi persyaratan tertentu. Kadang-kadang dibedakan lagi satu macam kedudukan, yaitu Assigned status yang merupakan kedudukan yang diberikan. Assigned status sering memiliki hubungan erat dengan achieved stastus.
Ukuran atau kriteria yang biasa dipakai untuk menggolong-golongkan anggota masyarakat ke dalam suatu lapisan. (Calhoun dalam Soekanto, 1990) adalah sebagai berikut:
1) Ukuran kekayaan, barang siapa yang memiliki kekayaan paling banyak, termasuk dalam lapisan teratas. Kekayaan tersebut, misalnya : rumah, kerbau, sawah, dan tanah.
2) Ukuran kekuasaan, barang siapa yang memiliki kekuasaan atau yang mempunyai wewenang terbesar menempati lapisan atas. Contoh: Pak Kades, Pak Carik, Tokoh masyarakat (Tomas).
3) Ukuran kehormatan, orang yang paling disegani dan dihormati, mendapat tempat yang teratas. Ukuran semacam ini banyak dijumpai pada maysarakat tradisional. Biasanya mereka adalah golongan tua atau mereka yang pernah berjasa.
4) Ukuran pengetahuan, pengetahuan sebagai ukuran, dipakai oleh masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan. Barang siapa yang berilmu maka dianggap sebagai orang pintar.
Berdasarkan pada pembagian golongan masyarakat kedalam suatu lapisan maka dapat disimpulkan bahwa golongan petani kecil, yaitu buruh tani dan petani tidak tetap yang ada di Kelurahan Pattapang berada pada kelas sosial bawah. Hal ini dapat dilihat pada ukuran kekayaan, dimana buruh tani dan petani tidak tetap tidak memiliki kekayaan yang cukup misalnya pada kepimilikan lahan yang rata-rata hanya 0.5 ha sampai dengan 2.5 ha saja, bahkan banyak yang hanya sebagai petani penggarap.
5.4.2 Diferensiasi dan Ketidaksamaan Sosial
Diferensiasi dan ketidaksamaan sosial merupakan hal pokok yang pasti ada ketika kita membahas stratifikasi sosial. Ketika ada pembedaan dan ketidaksamaan dalam masyarakat, pandangan Marxist menyatakan tentunya menyebabkan masyarakat tersebut menjadi berkelas-kelas/bertingkat-tingkat, sehingga muncul pelapisan-pelapisan dalam masyarakat. Ada yang berada pada golongan atas, menengah dan bawah, yang mempunyai kemampuan untuk mengakses “sumber daya” berbeda-beda, dimana kelas lapisan atas lebih mendominasi daripada kelas menengah atau bahkan kelas bawah. Ada kecenderungan golongan bawah untuk berusaha naik menggantikan kedudukan golongan atas dan golongan atas juga berusaha mempertahankan posisinya bahkan lebih meningkatkan lagi, akan tetapi tidak menutup kemungkinan bagi lapisan golongan atas untuk turun menjadi golongan menengah bahkan golongan bawah dengan beberapa faktor yang dapat menyebabkan semua ini terjadi.
Adapun yang kami temukan di Kelurahan Pattapang, diferensiasi dan ketidaksamaan sosial mengacu pada:
1) Pengetahuan (tingkat pendidikan)
2) Jenis Kelamin (alamiah).
3) Umur (alamiah).
4) Kekayaan.
5) Kedekatan wilayah tempat tinggal dengan elit lokal.
5.4.2.1 Diferensiasi Sosial
Penjelasan lebih lanjut mengenai diferensiasi sosial yang kami temukan di Kelurahan Pattapang adalah sebagai berikut:
1) Jenis Kelamin: di Kelurahan Pattapang laki-laki dipandang lebih bisa untuk menjadi pemimpin dibandingkan perempuan, karena menurut pandangan mereka kaum pria mempunyai figur yang lebih kuat untuk bisa dijadikan seorang pemimpin dalam membimbing kaum wanita dan anak-anak di kesehariannya, juga selain itu masyarakat Kelurahan Pattapang berusaha untuk menerapkan apa yang terkandung dalam ajaran Islam, bahwa kaum pria lebih kuat dibandingkan kaum wanita. Contohnya bisa menjadi imam masjid sedangkan perempuan yang dipimpin atau dengan kata lain jadi makmumnya.
2) Umur: di Kelurahan Pattang orang yang lebih tua akan lebih dihormati oleh masyarakat setempat karena mereka menggolongkan orang yang dianggap lebih tua itu kepada kaum sesepuh yang patut untuk banyak didengarkan nasihat-nasihat dari mereka. Contohnya dalam kerja bakti orang tua yang mengatur pekerjaan anak mudanya.
3) Pengetahuan: orang yang tingkat pendidikannya tinggi dijadikan pemimpin atau ketua diberbagai organisasi masyarakat. Contohnya Arifuddin, SP diangkat sebagai ketua P4S sekaligus sebagai ketua Gapoktan.
4) Kekayaan: kepemilikan seseorang terhadap sumber daya yang berkaitan dengan hal kekayaan yang dimiliki oleh beberapa orang di kampung tersebut, dapat membantu warga setempat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, sehingga pada kenyataannya warga tidak begitu kesulitan dalam mencukupi kebutuhannya baik primer maupun yang sekunder. Contohnya banyak warga yang membeli kebutuhan hidupnya di warung-warung terdekat.
5) Kedekatan wilayah: orang-orang yang tinggal dekat dengan kepala RT dan tokoh masyarakat lainnya dapat membantu dalam penyebaran informasi tentang suatu hal, sehingga informasi tersebut dapat mencapai tujuan yaitu kepada penduduk yang lain dengan lebih cepat tersebar secara merata.
5.4.2.2 Ketidaksamaan Sosial
Ketidaksamaan sosial yang terdapat di Kampung Cikadongdong antara lain:
1) Jenis kelamin: karena laki-laki lebih sering shalat di masjid dibandingkan perempuan maka laki-laki lebih cepat menerima informasi-informasi penting yang disampaikan di masjid, baik disampaikan secara langsung (dari mimbar masjid) oleh kyai maupun dari interaksinya dengan orang lain ketika berada di lingkungan masjid.
2) Umur: orang yang lebih tua umumnya akan mendapat pengetahuan lebih cepat dari anak muda karena mereka biasa menganggap suatu hal yang baru lebih serius daripada anak muda yang masih menganggap hal seperti itu sebagai hal yang kurang begitu penting bagi mereka dengan tidak memikirkan apa dampak yang akan terjadi bagi mereka.
3) Pengetahuan: orang yang memiliki pengetahuan lebih mudah memahami dan menerapkan teknologi sehingga kerapkali dipanggil dalam penyeselaian suatu masalah.
4) Kekayaan: orang yang memiliki modal untuk berwirausaha atau harta akan lebih mudah mengakses sumber daya dibandingkan orang yang tidak memiliki apa-apa karena intensitas mereka yang lebih banyak untuk bertemu dengan orang-orang yang berada di lapisan manapun.
5) Kedekatan wilayah: orang yang bertempat tinggal dekat ketua RT atau tokoh masyarakat akan lebih cepat memperoleh informasi daripada yang tinggal lebih jauh dan bisa turut berperan sebagai penyebar informasi yang ada kepada masyarakat yang lainnya.
5.4.3 Peranan (Role)
Peranan (role) merupakan aspek dinamis kedudukan. Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka dia menjalankan suatu peranan. Peranan melekat pada diri seseorang harus dibedakan dengan posisi dalam pergaulan kemasyarakatan. Posisi seseorang dalam masyarakat merupakan unsur statis yang menunjukkan tempat individu pada organisasi masyarakat.
Kedudukan sosial dan peranan sosial mempunyai hubungan yang erat. Kedudukan sosial lebih mengarah kepada jabatan, sedangkan peranan sosial lebih mengarah kepada tugas-tugas yang harus dijalankan oleh pemegang kedudukan sosial.
Berdasarkan data yang diperoleh, di Kelurahan Pattapang terdapat dua organisasi petani yang besar dan aktif. Organisasi tersebut adalah Pusat Pelatihan Pertanian Pedesaan Swadaya (P4S) dan Gabungan Kelompok Tani (GAPOKTAN) Gema Baru.
BAB VI PENUTUP
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan luas kepemilikian lahan pertanian, maka petani dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu: Buruh tani, dibagi menjadi dua sub kelompok :
1). Buruh tani, yaitu petani yang sama sekali tidak memiliki tanah pertanian atau hanya memiliki tanah pekarangan saja.
2). Petani tidak tetap, yaitu mereka yang memiliki tanah pertanian dengan luasan sempit yakni kurang dari 2,5 Ha.
Petani bebas, dibagi menjadi dua subkelompok :
1). Petani bebas kecil, yaitu mereka yang memiliki tanah pertanian antara 2,5 hektar hingga 12 hektar.
2). Tuan tanah besar, yaitu mereka yang memiliki tanah pertanian lebih dari 12 hektar.
Ditinjau dari ukuran kekayaan maka petani kecil (buruh tani dan petani tidak tetap) yang berada di Kelurahan Pattapang barada pada kelas social paling bawah, karena tidak memiliki tanah pertanian yang cukup. Sedangkan dari segi pendidikan mereka juga berada pada tingkat pendidikan paling rendah, yaitu umumnya berpendidikan sekolah dasar (SD) saja.
Diferensiasi dan ketidaksamaan sosial mempunyai potensi untuk menimbulkan stratifikasi sosial dalam masyarakat. Diferensiasi sosial merupakan pengelompokan masyarakat secara horizontal berdasarkan pada ciri-ciri tertentu. Berbeda dengan ketidaksamaan sosial yang lebih menekankan pada kemampuan untuk mengakses sumberdaya, diferensiasi lebih menekankan pada kedudukan dan peranan. Stratifikasi sosial dapat terjadi sejalan dengan proses pertumbuhan atau dibentuk secara sengaja dibuat untuk mencapai tujuan bersama. Seperti apa yang dikemukakan Karl Marx yaitu karena adanya pembagian kerja dalam masyarakat, konflik sosial, dan hak kepemilikan.
Adapun yang kami temukan di Kelurahan Pattapang, diferensiasi dan ketidaksamaan sosial mengacu pada:
Adapun yang kami temukan di Kelurahan Pattapang, diferensiasi dan ketidaksamaan sosial mengacu pada:
1) Pengetahuan (tingkat pendidikan)
2) Jenis Kelamin (alamiah).
3) Umur (alamiah).
4) Kekayaan.
5) Kedekatan wilayah tempat tinggal dengan elit lokal.
6.2 Saran
Penentuan tempat praktek sebaiknya mempertimbangkan jarak atau waktu tempuh ke tempat praktek, agar praktek lapang bias efektif. Misalkan praktek yang dilaksanakan di Malino, dari tiga hari yang disapkan panitia ternyata hanya satu hari digunakan untuk praktek sedangkan dua hari dihabiskan diperjalan, sementara mata kuliah yang dipraktekkan terlalu banyak.
Pembuatan laporan praktek sebaiknya tidak dalam bentuk kelompok, agar setiap mahasiswa mampu mengolah data yang diperoleh dilapangan. Selain bila dibuat dalam bentuk kelompok ada kecenderungan mahasiswa tidak serius saat melakukan pendataan karena mengandalkan kerja kelompok.
Sebaiknya di Kelurahan Pattapang dibentuk semacam bank pertanian yang mampu menyediakan modal bagi petani agar bisa membiaya kegiatan usaha taninya, seperti pengadaan sarana produksi serta alat transportasi agar bisa menjual langsung hasil panennya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Rahardjo,Drs,M.Sc.2004.Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian.Gadjah Mada University Press.Yokyakarta
2. Yosep L.dkk.2007.Laporan Praktek Lapang Sosiologi Pedesaan.Fakultas Pertanian Peternakan dan Perikanan UMPAR.Pare-pare.
No comments:
Post a Comment